Tampilkan postingan dengan label Immunology. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Immunology. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Juli 2012

Riwayat Transfusi Darah

1628 William Harvey, seorang dokter Inggris mengungkapkan sirkulasi darah. Segera setelah itu diketahui adanya upaya paling awal transfusi darah.


1665: Transfusi darah yang berhasil tercatat pertama kali di Inggris. Dokter Richard Lower menyelamatkan nyawa anjing dengan transfusi darah dari anjing lain.


1795: di Philadelphia, Philip Syng Physick, seorang dokter Amerika melakukan transfusi darah pertama kali pada manusia, meskipun tidak dipublikasikan.




1818 James Blundell, seorang obstetrikus Britania, melakukan transfusi darah yang berhasil pertama kali pada manusia untuk pengobatan perdarahan pasca melahirkan. Darah diambil dari lengan suami pasien dan ditransfusikan dengan semprit ke istrinya
1840 Di Sekolah St. George London, Samuel Armstrong Lane, dibantu konsultan Dr. Blundell, pertama kali melakukan transfusi darah lengkap yang berhasil untuk mengobati hemophilia.


1867 Ahli bedah Inggris Joseph Lister menggunakan antiseptik untuk mengendalikan infeksi selama transfusi.


1873-1880 dokter-dokter US mentransfusikan susu (dari sapi, kambing dan manusia).


1884 Infus garam fisiologis menggantikan susu sebagai “pengganti darah” karena peningkatan frekuensi reaksi negatif terhadap susu.



1900 Karl Landsteiner, seorang dokter Austria, menemukan tiga golongan darah pertama pada manusia, A, B, dan C. Golongan darah C kelak diubah menjadi O. Koleganya Alfred Decastello dan Adriano Sturli menambahkan golongan ke empat AB, di tahun 1902. Karena penemuan ini, Landsteiner menerima Hadiah Nobel untuk Kedokteran di tahun 1930. The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1930

Karl Landsteiner

Austria

Rockefeller Institute for Medical Research

New York, NY, USA

REAKSI TRANSFUSI

DEFINISI :
Semua kejadian yang tidak menguntungkan penderita, yang timbul selama atau setelah transfuse, dan memang berhubungan dengan transfuse tersebut.
PEMBAGIAN

I. REAKSI TRANSFUSI SEGERA : (< 24 Jam) 1. Reaksi transfusi Haemolitik. 2. Reaksi transfusi Panas non Haemolitik. 3. Reaksi transfusi oleh karena Darah Tercemar. 4. Reaksi transfusi Allergie. 5. Reaksi transfusi Perdarahan Abnormal. 6. Reaksi transfusi Gagal Jantung. 7. Reaksi transfusi Gagal Paru. 8. Reaksi transfusi Keracunan. 9. Reaksi transfusi Thrombophlebitis. II. REAKSI TRANSFUSI LAMBAT : ( > 24 Jam)
1. Reaksi transfuis Haemolitik Lambat.
2. Penularan penyakit : Malaria, Hepatitis, HIV, dsb;
3. Haemosiderosis / Haemokromatosis.

1. Reaksi Transfusi Haemolitik Segera (RTHS) :
Pada reaksi terjadi perusakan sel darah merah setelah / selama transfusi
 
jenisnya :
A. Perusakan Sel Darah Merah Intravaskulair.
Biasanya disebabkan oleh ABO incompatibilitas.
Gejalanya yang terjadi biasanya nyata dan segera.
B. Perusakan Sel Darah Merah Extravaskulair.
Biasanya disebabkan oleh Rh incompatibilitas atau kwalitas darah yang jelek
Gejala yang timbul adalah minimal tidak nyata dan lambat.
Gejala yang khas adalah : icterus yang timbul 3-5 jam post transfusi
Gejala :
• Panas pada lengan yang ditransfusi
 Mengigil
à• Suhu tubuh yang meningkat.
 nyeri dada.
à• Sesak nafas
• Nyeri di daerah lumbal.
• Rasa mual / muntah
 tekanan darah menurun.
à• Shock
 Haematuri
à• Terjadi perdarahan yang abnormal
 Mati.
à Gagal Ginjal à• Produksi urine menurun

 ingat RTHS bila :
àApabila penderita berada dalam pembiusan :
• Hipotensi yang tidak sesuai perdarahan.
 DIC
à• Terjadi perdarahan yang abnormal
• Terdapat Hemoglobinuria.

Pemeriksa Laboratorium : Anemia, Lekopheni, Thrombopheni,
 
Hb Plasma Meningkat, Bilirubin meningkat,
 
Fibrinogen menurun, dan terjadi Hb uri.

Tindakan :
 infuse NacI 0.9%
à• STOP Transfusi
• Observasi tensi, Nadi, Respirasi
• Bila timbul demam beri anti piretik.
• Bila terjadi Shock berikan DOPAMIN drip, intravena
 Diuretika.
à• Berikan Lasix, Furosemid.
• Periksakan Faal Hemostasis.
• Periksakan sample darah penderita & donor ke laborat.
• Consult dokter.


2. Reaksi Panas Non Haemolitik :
Reaksi ini paling sering terjadi
Gejala biasanya timbul ½ - 3 jam post transfusi, berupa :
 Menggigil
à• Suhu tubuh meningkat
• Muntah muntah
• Nyeri yang hebat pada kepala / otot.
Tindakan :
 infuse NaCI 0.9 %
à• STOP Transfusi
• Beri anti piretik
 boleh dicoba lagi atau ganti darah yang
à• Bila panas badan menurun  
lain.

3. Reaksi Transfusi Karena darah Tercemar :
Kuman yang mencemari darah adalah : Coliforn, Pscudomonas. Biasanya kedua
 
kuman ini menghasilkan endotoxin.
Kontaninasi dapat terjadi oleh karena :
• Waktu sampling darah.
• Pemakaian Antikoagulant yang kurang steril.
 tidak mati waktu dipanaskan.
à• Kuman yang tahan panas

Gejala yang timbul :
 Menggigil.
à• Panas badan
• Bila berat penderita jatuh kedalam Shock.

Tanda tanda darah yang tercemar :
• Berwarna biru kehitaman.
 terjadi hemolisa
à• Batas sel dan serum tidak jelas
 serum jadi merah
à• Bila dikocok perlahan
 DIC.
à• Tampak bekuan darah kecil kecil

Tindakan :
 infuse NaCi 0.9 %
à• STOP Transfusi
• Beri antibiotic
• Beri Kortikosteroid bila perlu

4. Reaksi Transfusi Karena Allergie :
Biasanya terjadi kerena adanya allergen di dalam darah donor.
 
Gejala yang timbul :
• Ringan : urtikaria ( gatal – gatal )
 Shock
à• Berat : Sesak nafas, Cyanosis, Hypotensi

Tindakan :
 infuse Naci 0.9%.
à• STOP Transfusi
• Beri antihistamin.
• Beri kortikosteroid bila perlu.
• Bila terjadi lharynk oedem berikan adrenaline.

5. Reaksi Transfusi Peredarahan Abnormal :
Reaksi transfusi ini biasanya disebabkan oleh reaksi transfusi hemolitik segera yang selanjutnya mengalami DIC dan adanya dilusi factor pembekuan darah.
Tindakan :
 infus NaCI 0,9 %
à• STOP Transfusi
• Bila terjadi DIC beri Heparin
• Bila disebabkan dilusi factor pembekuan darah, beri plasma beku segar / darah segar.

6. Reaksi Transfusi kegagalan Jantung :
Reaksi ini biasanya disebabkan karean : Transfusi dengan volume darah yang besar dan dalam waktu yang singkat, atau pada penderita dengan kelainan jantung.
 
Tindakan :
 infus NaCI 0,9 %.
à• STOP Transfusi
• Pasien dibuat posisi setengah duduk.
• Beri oksigen
 dokter ahli jantung.
à• Beri obat : Digitalis, Diuretik
 dokter ahli.
à• Lakukan Phlebotomi bila perlu
7. Reaksi Transfusi kegagalan Paru :
akan terbentuk mikrothrombi àPenyabab : Darah yang tersimpan lama sehingga menyebabkan infrak paru.  Pencegehannya : Diberi filter 20 mikrom waktu transfusi.
8. Reaksi Transfusi Keracunan :
    Biasanya disebabkan karena keracunan : Kalium Sitrat

9. Reaksi Transfusi Thrombophlebitis :
    Biasanya disebabkan oleh karena alat transfuse yang kurang steril.

TRANFUSI DARAH

Tujuan transfusi darah :

1. mengembalikan volume darah yang hilang.
2. menambah fraksi darah yang kurang.

Macam transfusi darah :
1. transfusi dengan darah seluruhya ( Whole Blood )
2. Transfusi dengan komponen darah.

TRANSFUSI DENGAN WHOLE BLOOD.

Indikasi transfuse dengan wholw blood :
● perdarahan akut dan profile
hypovolemik shock.
● Exchange transfusion : Haemolitik disease of the new born.
Intoxicasi.
Kegagalan faal hati akut.
Keuntungan : Mudah didapat dan tehnik lebih mudah.
Kerugian : Lebih sering kemungkinan terjadinya reaksi transfuse.
Macam transfusi dengan whole blood :
1. FRESH BLOOD : yaitu darag setelah pengambilan atau telah disiman pada suhu derajat celcius selama kurang dari 6 jam.
2.STORED BLOOD : yaitu darah yang telah disimpan pada suhu 4 derajat celcius selama lebih dari 6 jam.
Trombosit, factor V, VIII, biasanya mudah rusak..

TRANSFUSI DENGAN KOMPONEN DARAH.
1. komponen darah padat ( sel darah )
● Transfusi dengan sel darah merah ( SDM ) : -SDM dienddapkan.
-SDM dipadatkan ( packed RBC )
-Lekosit poor RBC.
-Washed RBC.
● TRansfusi dengan sel darah putih ( SDP )
● Transfusi dengan Trombosit : - Platellet Rich Plasma ( PRS )
- Platellet Concentrate ( PC )
2. komponen darah non sel ( Komponen Cair ).
● Transfusi dengan plasma : - Single donor plasma.
- Pooled plasma
 
● Transfusi dengan fraksi plasma : Albumin, Glibulin, Fibrinogen, AHF ( anti hemophilic factor ) dsb.
 

I.TRANSFUSI DENGAN SEL DARAH MERAH ( SDM ).
Transfusi dengan memakai sel darah merah yang diendapkan / dipadatkan dikenal dengan nama : Darah disentrifuse dengan kecepatan 2000rpm, selama 60 meni. Kemudian
 
plasma nya dipusahkan, sehingga volume darah menjadi 60 - 70% dari semula.
PRC yang telah dibuat harus dipakai dalam waktu kurang dari 4 jam. Dengan tehnoligi yang lebih maju, proses pemisahan darah dan plasma itu dilakukan dengan system tertutup, sehingga PRC yang terbentuk masih bisa dipakai asal tidak melebihi 1 hari.
Hal tersebut karena PRC merupakan media yang baik untuk kuman.
Keuntungan Transfusi dengan PRC :
● Dapat diberikan SDM dalam jumlah yang banyak padda satu kali transfusi.
● Penambahan volume darah lebih sedikit , sehingga bahaya decom cordis menurun.
● Kadar Na, K, NH4, dan citrate lebih sedikit.
● Plasma nya dapat digunakan pada penderita lain.
● Kadar anti A dan anti B dalam PRC rendah, sehingga dapat dilakukan subtitusi bila diperlukan.
● Kemungkinan terjadinya reaksi transfusi juga lebih kecil.
Kerugian Transfusi dengan PRC :
● PRC yang terbentuk harus dipakai dalam waktu < 4jam atau 21 hari.
● PRC tidak mengandung factor pembekuan darah, sehingga tidak dapat memperbaiki perdarahan bila diperlukan.
Indikasi Transfusi dengan PRC :
● Anemia tanpa penurunan volume darah, misalnya : perdarahan kronins, defisiensi Fe.
● penderita dengan decom.cordis . ( vol penambahan sedikit ).
● penderita sirrhosis hepatic ( kadar NH4 sedikit ).

Transfusi dengan sel darah merah yang lainnya adalah dengan : LEUKOSIT POOR RBC ( LPRBC ), yaitu sel darah merah yang mengandung sedikit sekali sel darah putih ( lekosit ). Sebagaimana diketahui lekosit adalah penyebab tersaring terjadinya reaksi transfusi. Jadi dengan mengurangi kandungan lekosit dalam darah yanh hendak di transfusikan, diharapkan kemungkinan terjadinya reaksi transfuse dapat dikurangi.
Indikasi Transfusi dengan LPRBC :
● Penderita yang memiliki titer antibody lekosit yang tinggi.
● penderita yang pernah mengalami reaksi transfusi yang berat.
Kontra indikasi transfuse dengan LPRBC :
● penderita dengan lekopheni yang berat
Kerugian Transfuse dengan LPRBC ini adalah : lekosit tidak dapat dihilangkan 100%.

Jenis transfusi dengan sek darah merah yang alin adalah : transfusi dengan WASHED RBC ( WRBC ).
Tujuan pencucian sel darah merah ini adalah :
● menghilangkan protein plasma.
● menghilangkan antibody pada sel darah merah ( Anti A / Anti B ).
● menghilangkan / mengurangi sel darah putih ( lekosit ).
Kerugian pada transfusi dengan WRBC adalah : pencucian yang berulang menjadikan terilitas darah kurang terjamin .
Indikasi transfusi dengan WRBC adalah : Pada penderita dengan gangguan Auto Immun.


II.TRANSFUSI DENGAN SEL DARAH PUTIH.
Indikasi pemberian transfuse dengan sel darah puih adalah : Bila terjadi lekopheni yang berat, sehingga khawatir terjadinya suatu infeksi.
Transfusi dengan sel darah putih ini tidak efektif karena :
● Umur lekosit yang pendek.
● Jumlah lekosit yang sedikit. Untuk meningkatkan 1500 lekosit diperlukan sekitar 40 unit darah segar.
Transfusi dengan sel darah putih ini jarang sekali dilakukan.

III. TRANSFUSI DENGAN TROMBOSIT.

Indikasi pemberian transfusi dengan trombosit adalah bila terjadi TROMBOPHENI yang berat, sehingga dikhawatirkan terjadi perdarahan.
Terdapat 2 macam trombosit yang dapat ditransfusikan yaitu :
● PRP ( Platellet Rich Plasma ).
● PC ( Platellet Concentrate ).
Cara mendapatkan PRP dan PC adalah : Darah disentrifuse selama 3 menit dengan kecepatan 2300rpm, maka suoernatant nya adalah PRP.
Bila PRP tersebut kita sentrifuse lagi selama 30 menit dengan kecepatan 2300rpm, maka endapan yang terjadi adalah PC.
Untuk melakukan transfusi dengan trombosit ini tidak perlu dilakukan reaksi silang terhadap gol darah ABO, sedangkan terhadap Rhesusmasih tetap perlu dilakukan.
Pemberian satu unit PC dapat meningkatkan sekitar 15.000 /mm3 trombosit.
Setelah suatu transfusi dengan trombosit, maka umur trombosit hanya sekitar 1 – 3 hari, sehingga dapat dilakukan transfusi sebanyak 2 – 3 kali dalam seminggu.

IV. TRANSFUSI DENGAN KOMPONEN CAIR ( PLASMA ).
1. transfusi dengan PLASMA
Indikasi pemberian transfusi dengan plasma adalah :
● suatu keadaan dimana banyak plasma yang hilang, misalnya : luka baker yang
 
Luas,demam berdarah, dsb.
● Dehidrasi.
● Perdarahab oleh karena defisiensi factor pembekuan darah.
Transfusi dengan plasma ini ada 2 macam yaitu :
1. Single Donor Plasma :
* Dibuat dari 1 unit darah.
* Resiko terkena hepatitis lebih kecil.
* Titer iso antibody nya tinggi.
2. Pooled Plasma :
* Dibuat dari beberapa unit darah.
* Resiko terkena hepatitis tinggi.
* Titer iso antibody kecil.
* volume yang didapat cukup banyak.
Kerugian pemberian transfusi dengan Plasma adalah bahwa transfusi ini tidak dapat mengatasi anemia.
Keuntungan pemberian transfuse dengan Plasma, dibandingkan dengan transfusi dengan Whole Blood adalah :
● Tidak diperlukan reaksi silang.
● 1 unit darah dapat dipakai untuk beberapa macam transfusi.
● Kemungkinan reaksi hemolitik kecil.

2. Transfusi dengan Plasma spesifik :
● Albumin.
● cryoprecipitate ( Anti Hemophilia Cincentrate ).
3. Transfusi dengan Gamma Globulin : Pemberian Anti Bodi.
4. Transfusi dengan Fibrinogen.

 

Keputusan Transfusi Darah

Keputusan untuk melakukan transfusi darah diserahkan ke masing-masing individu, dengan tetap mengutamakan kepentingan pasien bukan dokter. Darah merupakan komponen penting dalam tubuh. Melalui darah, oksigen akan terangkut ke seluruh organ tubuh, terutama organ vital agar fungsinya dapat terus berjalan. Maka dari itu, tidak berlebihan apabila prosedur transfusi darah merupakan suatu tindakan yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang (life saving).
Berbagai usaha transfusi darah terus dikembangkan sejak ratusan tahun silam. Transfusi darah pertama kali dilakukan pada tahun 1665 oleh Richard Lower. Namun saat itu, transfusi darah dilakukan dari anjing ke anjing. Dua tahun kemudian (1667), barulah transfusi darah ke manusia dilakukan untuk pertama kalinya. Adalah Jean Denis, dokter Raja Perancis Louis XIV, yang melakukan transfusi darah domba ke seorang anak remaja yang sedang sakit demam.
Transfusi darah tidak lepas dari berbagai risiko atau efek samping yang ditimbulkannya seperti tertular infeksi dan reaksi alergi. Untuk meminimalkan risiko tersebut pada resipien maka panduan mengenai transfusi darah perioperatif terus disusun dan diperbaharui agar pelaksanaannya sesuai dengan indikasi, mengoptimalkan clinical outcome, dan menghindari under atau over-transfusion.
Pembahasan transfusi darah pada tulisan ini lebih ditekankan pada kasus perioperatif yaitu pasien yang direncanakan menjalani pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Yang tergolong di dalamnya adalah pasien yang hendak menjalani operasi bedah, pasien dengan kelainan darah atau mengalami perdarahan masif, dan pasien sakit kritis.

 

Transpor Oksigen

Hemoglobin (Hb) adalah kompleks molekul terdiri dari 4 rantai globin. Masing-masing rantai globin mempunyai cincin heme yang mampu mengikat oksigen. Afinitas Hb terhadap O2 tergambar melalui hubungan sinusoidal antara saturasi Hb dengan tekanan parsial O2 (pO2). Hubungan ini dikenal dengan kurva dissosiasi oksi-Hb. Jumlah O2 yang dikirim ke seluruh organ tubuh (delivery oxygen/DO2) merupakan hasil perkalian dari cardiac output (CO) dengan kandungan O2 dalam arteri (arterial O2 content/CaO2).
Hipoksia jaringan (dan anoksia) akan terjadi apabila jumlah oksigen yang dikirim berkurang. Akibatnya, sel-sel organ tubuh tidak dapat melakukan metabolisme aerob. Dari persamaan 1, dapat dilihat bahwa DO2 berkurang akan terjadi bila ada penurunan Hb (anemia hipoksia) CO (stagnan hipoksia), atau saturasi O2 (hipoksik hipoksia).
Pada seseorang yang sehat, jumlah oksigen yang dikirim ke seluruh tubuh melebihi jumlah kebutuhan oksigen yang diperlukan sekitar 2-4x. Sebagai contoh, jika kita asumsikan Hb normal 15 g/dl, saturasi O2 99%, dan CO 5 l/menit, maka DO2 adalah 1032 ml/menit. Dalam keadaan istirahat, jumlah O2 yang dibutuhkan hanya 200-300 ml/menit. Pada seseorang yang anemia pun, misal Hb 10 g/dl, jumlah DO2 masih di atas kebutuhan tubuh (688 ml/menit). Begitu juga bila Hb 5 g/dl dan parameter lain stabil, jumlah DO2 masih 342 ml/menit. Dengan demikian, dalam keadaan stabil, jumlah kebutuhan oksigen dalam tubuh (VO2) tidak dipengaruhi oleh DO2.
Namun, ada satu nilai ambang kritis yang disebut critical DO2 (DO2-crit). Beberapa studi menunjukkan nilai DO2-crit 4-8 ml/menit/kg. Nilai dibawah DO2-crit menandakan terjadinya penurunan DO2 yang diikuti juga dengan penurunan VO2. Dengan kata lain, pada fase tersebut mulai terjadi hipoksia jaringan. Disini, nilai VO2 berhubungan linier dengan DO2.
Dari penjelasan di atas, maka diketahui bahwa terdapat hubungan bifasik antara DO2 dengan VO2. Hubungan bifasik itu dibagi menjadi 2 fase. Fase pertama adalah fase dimana DO2 diatas nilai DO2-crit. Pada fase pertama, jumlah DO2 tidak mempengaruhi jumlah VO2. Berapa pun banyaknya DO2, jumlah VO2 tetap sama (plateu).
Fase kedua adalah fase dimana DO2 dibawah nilai DO2-crit. Penurunan jumlah DO2 seiring dengan penurunan VO2 (linier). Itu berarti jumlah kebutuhan oksigen jaringan menurun dan terjadi hipoksia jaringan.

Adaptasi Anemia

Pada anemia normovolemia, kapasitas pengangkutan O2 berkurang namun oksigenasi jaringan tetap [sesuai penjelasan di atas]. Hal itu dikarenakan kurva disosiasi oksi-Hb mengarah ke kanan (shift to the right). Pada keadaan tersebut, terjadi peningkatan sintesis 2,3 difosfogliserat (2,3-DPC) dalam sel darah merah sehingga lebih memudahkan pelepasan O2 ke jaringan tubuh.
Faktor lain yang turut mempengaruhi kestabilan oksigenasi jaringan pada anemia adalah cardiac output. Terangsangnya saraf simpatis sebagai respon dari anemia mengakibatkan tonus pembuluh darah arteri dan vena meningkat, diikuti pula dengan peningkatan cardiac output. Sistem renin-angiotensin-aldosteron juga terstimulasi untuk meretensi air dan natrium.
Pada kasus perdarahan dimana terjadi hipovolemia dan anemia akut, hukum 'homeostasis' tersebut tidak berlaku sebab baik Hb maupun cardiac output berkurang.

Komponen Darah Transfusi

Packed Red Blood Cell (PRBC)
PRBC mengandung Hb yang sama dengan whole blood. Perbedaan keduanya terletak pada jumlah plasma, yang lebih sedikit pada PRBC. Akibatnya, kadar Ht PRBC lebih tinggi daripada whole blood yaitu 70% berbanding 40%. Indikasi whole blood adalah pasien yang mengalami perdarahan aktif dan kehilangan darah >25% daripada darah total. Whole blood juga meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen (oxygen-carrying capacity) dan ekspansi volume darah intravaskular. Transfusi satu unit whole blood atau PRBC pada pasien dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat meningkatkan Ht 3% atau Hb 1 g/dl.
Pemberian PRBC perlu diikuti dengan kristaloid atau koloid. Tidak semua kristaloid dapat digunakan. Ringer laktat, misalnya, mengandung kalsium sehingga dapat mengakibatkan pembekuan darah (clotting). Cairan kristaloid dengan osmolaritas rendah juga tidak dihindari karena sel darah merah akan membengkak lalu mengalami lisis. Cairan yang direkomendasikan adalah dekstrosa 5% dalam salin 0,4%, dekstrosa 5% dalam salin 0,9%, salin 0,9%, dan Normosol-R dengan pH 7,4.
Saat hendak digunakan, PRBC perlu dihangatkan terlebih dahulu hingga sama dengan suhu tubuh (37oC). Bila tidak dihangatkan, efek hipotermia disertai dengan rendahnya kadar 2,3-DPG akan mengakibatkan kurva disosiasi Hb-oksigen mengarah ke kiri. Keadaan itu menandakan bahwa tekanan parsial oksigen (PO2) dalam darah rendah meskipun saturasi oksigen tinggi. PO2 yang rendah akan menyulitkan difusi oksigen dari darah ke jaringan sehingga terjadi hipoksia jaringan.
Trombosit
Penyimpanan trombosit dilakukan dalam suhu kamar dan dapat bertahan selama 5 hari. Sebaliknya, bila disimpan dalam suhu 4oC, trombosit tidak dapat bertahan lama dan harus segera digunakan dalam 24-48 jam. Disinilah permasalahan muncul. Penyimpanan trombosit dalam suhu kamar (20o-24oC) memicu pertumbuhan bakteri sehingga dapat mengakibatkan sepsis pada pasien yang ditransfusi. Oleh karena tidak ada pemeriksaan spesifik terhadap ada tidaknya bakteri dalam komponen darah, maka setiap pasien yang mengalami demam dalam 6 jam paska transfusi trombosit harus dicurigai terjadinya sepsis.
Pasien dengan trombositopenia berat (<20.000 sel/mm3) disertai gejala klinis perdarahan memerlukan transfusi trombosit. Akan tetapi, bila tidak dijumpai gejala klinis perdarahan, transfusi trombosit tidak diperlukan.
Satu unit trombosit dapat meningkatkan 7000-10.000 trombosit/mm3 setelah 1 jam transfusi pada pasien dengan berat badan 70 kg. Untuk meningkatkan 100.000 trombosit/mm3, butuh 10 unit. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan transfusi trombosit diantaranya splenomegali, sensitisasi sebelumnya, demam, sepsis, dan perdarahan aktif.
Plasma Beku Segar (Fresh Frozen Plasma)
FFP mengandung semua protein plasma (faktor pembekuan), terutama faktor V dan VII, yang akan menurun jumlahnya seiring dengan lamanya penyimpanan.
Setiap unit FFP biasanya dapat menaikkan masing-masing kadar faktor pembekuan sebesar 2-3% pada orang dewasa. Dosis inisial adalah 10-15 ml/kg. Sama dengan PRBC, saat hendak diberikan pada pasien, perlu dihangatkan hingga sama dengan suhu tubuh.
Kriopresipitat
Kriopresipitat mengandung faktor VIII dan fibrinogen dalam jumlah banyak. Selain itu, juga terdapat faktor von Willebrand, faktor XIII dan fibronektin. Fibronektin adalah glikoprotein yang berperan sebagai sel retikuloendotelial clearance terhadap bakteri atau benda asing dalam darah. Indikasi kriopresipitat adalah pada penyakit hemofilia (defisiensi faktor VIII), juga dapat digunakan dalam pengobatan defisiensi fibrinogen.
Kompleks Protrombin
Komponen darah yang dikandungnya adalah faktor II, VII, IX, dan X. Indikasi utama adalah pengobatan hemofilia B (defisiensi faktor IX). Selain itu juga diberikan pada perdarahan akibat hipoprotrombinemik didapat (acquired hypoprothrombinemic), seperti pada pasien overdosis warfarin.

Transfusi Darah

Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh. Dengan meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut meningkat. Keadaan itu menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami hipoksia (oxygen delivery-dependent tissue).
Akan tetapi, darah transfusi – yang melalui proses penyimpanan – mempunyai tingkat P50 yang rendah dan kadar 2,3-DPG yang berkurang. Akibatnya, daya afinitas Hb terhadap oksigen meningkat namun pelepasan oksigen ke jaringan sulit (kurva disosiasi oksigen mengarah ke kiri). P50 adalah tekanan parsial oksigen dimana 50% Hb tersaturasi dengan oksigen pada suhu 37oC dan pH 7,4.
Rekomendasi Transfusi Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
1. Sel darah Merah
  • Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima. (Rekomendasi A)
  • Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium. (Rekomendasi C)
  • Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat). (Rekomendasi A)
  • Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb ≤11 g/dl; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dl (seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb ≤13 g/dl. (Rekomendasi C)
2. Trombosit
  • Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit <50.000/µl, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/µl. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan masing-masing. (Rekomendasi C)
  • Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/µlpada pasien yang akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif. (Rekomendasi C)
  • Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi C)
3. Plasma beku segar (fresh frozen plasma)
  • Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibisi koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi. (Rekomendasi C)
  • Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam nyawa. (Rekomendasi C)
  • Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfuse masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati. (Rekomendasi C)
4. Kriopresipitat
  • Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi C)
  • Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi. (Rekomendasi C)

Algoritma Transfusi Darah Perioperatif

1. Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif menilai riwayat kesehatan/penyakit sebelumnya, melakukan pemeriksaan fisik dan menanyakan faktor risiko pasien, misalnya penyakit kardiorespirasi atau koagulopati. Pada koagulopati, pemakaian warfarin, clopidogrel, dan aspirin dapat mempengaruhi komponen darah transfusi. Selain itu, evalusai preoperatif juga perlu menilai adanya penyakit darah kongenital atau didapat, penggunaan vitamin atau suplemen herbal yang dapat mengganggu koagulasi, serta pemakaian obat seperti aprotinin yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Pasien perlu diberi tahu (informed consent) terhadap segala risiko atau komplikasi yang timbul akibat reaksi transfusi.
  1. Anamnesis
    • Mengkaji riwayat kesehatan/penyakit pasien
    • Anamnesis dan pemeriksaan fisik
    • Kondisi pasien
  2. Tes laboratorium        
    • Hb atau Ht
    • Profil koagulasi
        
2. Persiapan preoperatif
  1. Langkah-langkah untuk mencegah perdarahan
    • Menghentikan antikoagulasi
    • Menunda operasi sampai efek obat yang sebelumnya diminum (warfarin, clopidrogel, aspirin) menurun
  2. Mencegah/mengurangi jumlah darah transfusi allogenik
    • Obat untuk mencegah anemia perioperatif (eritropoietin dan vitamin K)
    • Mempersiapkan darah autolog
    • Obat untuk merangsang koagulasi dan meminimalkan perdarahan (aprotinin, Є-asam aminokaproat, asam traneksamat)
3. Intervensi intraoperatif dan postoperatif
a. Transfusi sel darah merah
  • Memantau perfusi dan oksigenasi (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dan saturasi oksigen). Echokardiografi bila memungkinkan.
  • Memantau indikasi transfusi (apakah ada iskemia jantung, Hb, Ht, profil koagulasi)
  • Transfusi dilakukan bila Hb <6 g/dl. Tidak diberikan bila Hb masih >10 g/dl. Bila Hb antara 6-10 g/dl, menentukan perlu tidaknya transfusi adalah dengan melihat apakah ada organ iskemia, potensi perdarahan berlanjut, status volume intravaskular pasien, dan faktor risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat.
  • Transfusi eritrosit allogenik
  • Transfusi darah autolog
b. Tatalaksana koagulopati
Menilai lapangan pembedahan dan monitoring laboratorium terhadap tanda koagulopati. Lapangan pembedahan perlu dinilai bersamaan antara dokter bedah dan anestesiologis, apakah terjadi perdarahan mikrovaskular yang masif. Penilaian perdarahan masif perlu juga dinilai dari darah suction, spons, dan drainase. Laboratorium: trombosit, PT dan APTT. Tes lain adalah kadar fibrinogen, fungsi trombosit, tromboelastogram, D-dimer, dan thrombin time.
  • Transfusi trombosit
    Transfusi trombosit jarang diindikasikan bila trombosit >100 x 109/l dan baru diberikan bila <50 x 109/l. Indikasi lain adalah bila didapatkan disfungsi trombosit. Pada kasus trombositopenia yang terjadi karena dekstruksi trombosit seperti heparin-induced thrombocytopenia, idiopathic thrombocytopenic purpura, thrombotic thrombocytopenic purpura, transfusi trombosit profilaksis tidak efektif.
  • Transfusi FFP
    Bila mungkin, uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan sebelum memberikan FFP. Transfusi FFP tidak diberikan bila PT dan APTT normal serta tidak diindikasikan untuk meningkatkan volume plasma. Indikasi FFP adalah (1) perdarahan mikrovaskular masif (koagulopati) dengan PT >1,5 kali, INR >2 kali, atau APTT >2 kali dari normal; (2) perdarahan mikrovaskular masif akibat sekunder dari defisiensi faktor koagulasi atau ketika PT/APTT tidak dapat diperiksa pada saat itu; (3) penghentian tiba-tiba terapi warfarin; (4) diketahuinya faktor koagulasi yang mengalami defisiensi tetapi komponen transfusi tersebut tidak tersedia; (5) resistensi heparin (defisiensi antitrombin III) pada pasien yang memerlukan heparin.
  • Transfusi kriopresipitat
    Sebelum memberikan kriopresipitat, kadar fibrinogen perlu diperiksa. Transfusi kriopresipitat jarang diindikasikan bila kadar fibrinogen >150 mg/dl. Indikasi (1) kadar fibrinogen <80-100 mg/dl dengan perdarahan mikrovaskular masif, (2) defisiensi fibrinogen kongenital. Satu unit kriopresipitat mengandung 150-250 mg fibrinogen. Satu unit FFP mengandung 2-4 mg fibrinogen/ml. Oleh karena itu, satu unit FFP memberikan jumlah fibrinogen yang sama dengan 2 unit kriopresipitat.
    • Obat untuk mengurangi perdarahan masif (desmopresin, atau hemostatik topikal seperti lem fibrin, gel trombin)
c. Memantau reaksi transfusi
  • jumlah dan warna urin
  • peak airway pressure

Komplikasi Transfusi Darah

Komplikasi imun
1. Reaksi hemolitik
Umumnya yang terjadi adalah penghancuran sel darah merah donor oleh antibodi resipien. Atau, pada beberapa kasus, sel darah merah resipien mengalami hemolisis. Reaksi hemolitik dapat dibedakan menjadi dua yaitu akut (intravaskular) dan terlambat (ekstravaskular).
1.1 Reaksi hemolitik akut
Biasanya terjadi karena inkompatibilitas ABO. Jumlah kasus yang dilaporkan adalah 1:38.000 transfusi. Penyebabnya adalah kesalahan mengidentifikasi pasien, jenis darah atau unit transfusi.
Pada orang sadar, gejala yang dialami berupa menggigil, demam, mual, serta nyeri dada dan panggul. Pada orang dalam keadaan terbius, gejala berupa peningkatan suhu tubuh, takikardia yang tidak diketahui penyebabnya, hipotensi, hemoglobinuria, dan perdarahan difus pada daerah lapangan operasi. Koagulasi intravaskular disseminata, syok, dan gagal ginjal terjadi dengan cepat. Berat ringannya gejala tersebut tergantung dari seberapa banyak darah inkompatibilitas ABO yang ditransfusikan.
Penatalaksanaan reaksi hemolitik sebagai berikut:
  • Segera hentikan transfusi.
  • Komponen darah yang diberikan diperiksa apakah sesuai dengan identitas pasien dan yang diminta.
  • Ambil darah pasien untuk diperiksa kadar Hb, trombosit, uji kompatibilitas, dan tes koagulasi.
  • Pasang kateter urin, lalu periksa adanya hemoglobinuria.
  • Berikan manitol dan cairan intravena agar terjadi diuresis osmotik.
  • Apabila terjadi kehilangan darah yang banyak, lakukan transfusi trombosit dan FFP.
1.2. Reaksi hemolitik terlambat
Juga disebut sebagai hemolisis ekstravaskular. Reaksi hemolitik yang terjadi pada tipe ini umumnya ringan. Penyebabnya adalah antibodi terhadap antigen non-D dari sistem RH atau terhadap alel asing dari sistem lain seperti Kell, Duffy, atau antigen Kidd.
Diagnosis reaksi hemolitik terlambat adalah dengan melakukan tes antiglobulin (Coomb). Penatalaksanaannya adalah suportif primer.
2. Reaksi Imun Nonhemolitik
Reaksi ini terjadi karena sensitisasi resipien terhadap sel darah putih, trombosit, atau protein plasma dari donor.
2.1. Demam
Sensitisasi terhadap sel darah putih atau trombosit umumnya bermanifestasi sebagai demam. Insiden terjadi 1-3% dari episode transfusi. Ciri-ciri adalah peningkatan suhu tubuh tanpa disertai bukti adanya hemolisis. Pasien dengan riwayat demam berulang paska transfusi perlu mendapat transfusi sel darah merah murni (tanpa ada sel darah putih). Komponen darah tersebut bisa didapat dengan cara melakukan sentrifugasi, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
2.2. Urtikaria
Ditandai dengan eritema, bintik merah, dan gatal tanpa demam. Diduga terjadi karena sensitisasi terhadap protein plasma. Reaksi urtikaria dapat ditangani dengan antihistamin dan steroid.
2.3. Reaksi Anafilaktik
Anafilaktik berat dapat terjadi pada pasien defisiensi IgA yang memiliki antibodi anti-IgA dan menerima transfusi darah yang mengandung IgA. Penanganan dini adalah epinefrin, cairan, kortikosteroid, dan antihistamin. Pasien defisiensi IgA sebaiknya mendapat transfusi washed packed red cell, sel darah merah beku deglycerolized, atau darah tanpa IgA.
Komplikasi Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV). Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).

Perhitungan Jumlah Darah yang Hilang

Perkiraan volume total darah (estimated blood volume/EBV) pada pria dewasa adalah 75ml/kg dan wanita dewasa 65 ml/kg. Pada pria dengan berat 70 kg, diperkirakan jumlah darahnya sebanyak 5 liter, terdiri dari 3 liter plasma dan 2 liter sel darah merah.

Prognosis

     Masih banyak kontroversi mengenai prognosis pasien yang menjalani transfusi darah perioperatif. Berbagai studi telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, hasilnya berbeda-beda tergantung dari metodologi penelitiannya. Beberapa studi tersebut antara lain seperti dijabarkan di bawah ini. Sebanyak 281 pasien kanker paru stadium I yang akan menjalani operasis lobektomi diikutsertakan dalam penelitian oleh Nosotti M dkk, seperti dikutip dari Chest 2003. Dari total subjek tersebut, hanya 24,6% yang menjalani transfusi darah. Perbedaan Hb preoperatif kelompok transfusi dengan non-transfusi adalah 12,5 ± 1,2 g/dl vs 13,3 ± 1,22 g/dl. Hasilnya, Nosotti M dkk menemukan bahwa kejadian disease-free interval selama pemantauan 73 bulan pada kelompok transfusi lebih rendah secara signifikan daripada non-transfusi (53% vs 78%; p<0,005). Uji statistik juga menunjukkan transfusi darah berperan menjadi faktor prediktif terhadap terjadinya relaps tumor (hazard ratio 2,3; p=0,017).
       Studi lain oleh Rao SV dkk, seperti dikutip dari JAMA 2004, menyimpulkan bahwa transfusi darah pada pasien sindrom koroner akut dengan manifestasi perdarahan berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi. Dari 24.112 subjek penelitian, sebanyak 10% diantaranya (2401 subjek) pernah mendapat minimal satu kali transfusi darah selama masa perawatan di rumah sakit. Selama observasi 30 hari, outcome kelompok transfusi lebih buruk daripada non-transfusi, yaitu tingkat kematian (8% vs 3,08%; p<0,001), dan infark miokard (25,16% vs 8,16%; p<0,001).
       Transfusi perioperatif pada pasien patah tulang panggul dengan Hb ≥8 g/dl tidak memberikan survival yang lebih baik. Transfusi darah perioperatif juga tidak berhubungan dengan risiko mortalitas pada hari ke-30 dan 90 paska operasi. Hasil itu dilaporkan dalam JAMA 1998 oleh Carson JL dkk.
Pada akhirnya, kita masih belum mengetahui secara tepat berapa nilai Hb/Ht yang menjadi patokan dimulainya transfusi darah. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan transfusi darah diserahkan ke masing-masing individu, dengan tetap mengutamakan kepentingan pasien bukan dokter.

Sabtu, 07 Juli 2012

Tentang Penyakit Hepatitis


Istilah hepatitis biasanya dipakai untuk semua jenis penyakit peradangan atau pembengkakan hati (liver). Penyakit hepatitis bisa menyerang semua orang, bahkan pada orang yang memiliki kekebalan tubuh yang baik. Penyakit hepatitis ini bisa mengakibatkan sirosis, aknker hati serta kegagalan fungsi hati yang bisa berakibat fatal. 

PENYEBAB PENYAKIT HEPATITIS
Penyebab penyakit hepatitis ini bermacam - macam. Bisa dari virus, alkohol, narkoba, obat, ataupun racun. Virus hepatitis sendiri terdiri dari beberapa jenis, yaitu hepatitis A, B, C, D, E, F, dan G. Bentuk dari penyakit hepatitis ada bisa mengakibatkan penyakit yang akut (misal: Hepatitis A), bisa juga mengakibatkan hepatitis kronik (misal: hepatitis B dan C) dan ada pula yang kemudian bisa berkembang menjadi kanker hati (misal: hepatitis B dan C) 

PENULARAN PENYAKIT HEPATITIS
Penukaran penyakit hepatitis dapat terjadi melalui kontak dengan cairan penderita, misal: darah, jarum suntik, transfusi darah, dll. Untuk hepatitis C, tidak akan menular bila hanya melalui jabat tangan, berpelukan, bersin, kontak biasa, serta batuk. Asalkan tidak terpapar oleh darah penderita hepatitis C, penyakit ini tidak akan menular. Seorang penderita penyakit hepatitis C dapat menularkan ke orang lain dalam jangka kurang lebih 2 minggu setelah dirinya terinfeksi.

CARA MENCEGAH PENYAKIT HEPATITIS

  1. Imunisasi. Imunisasi merupakan cara yang efektif untuk mencegah terinfeksi penyakit hepatitis. Setelah di imunisasi, tubuh akan menghasilkan antibodi yang merupakan zat kekebalan tubuh terhadap penyakit hepatitis. Imunisasi hepatitis bisa diberikan pada anak muali usia 2 - 18 tahun dan cukup diaplikasikan sekali. 
  2. Imunitas sementara. Ini sangat efektif diberian kepada seseorang yang sering bepergian terutama di wilayah endemi hepatitis ataupun di lingkungan dengan sanitasi yang buruk. Antivirus yang diberikan akan bekerja efektif setelah 2 minggu kemudian. 
  3. Menjaga kebersihan diri. Selalu mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu langkah pencegahan penyakit hepatitis
  4. Tidak menggunakan barang milik orang lain selam kita sendiri tidak yakin dengan kondisi kesehatan orang tersebut
  5. Setia pada pasangan dengan cara tidak melakukan hubungan seks dengan berganti - ganti pasangan.
  6. Tidak melakukan donor darah bila kita sendiri terkena penyakit hepatitis
  7. Membersihkan ceceran darah. Bersihkan ceceran darah dengan menggunakan larutan pemutih pakaian dipercaya bisa membunuh virus hepatitis

Video cara treatment penyakit hepatitis C
Dalam video ini akan dijelaskan cara melakukan treatment pada penyakit hepatitis C




Pencarian Terbaru (100)
      Patofisiologi hepatitis. Penyakit hepatitis. Patofisiologi hepatitis a. Gambar penyakit hepatitis. Patofisiologi hepatitis b. Definisi penyakit hepatitis. Etiologi hepatitis.Peran imunisasi dalam menghasilkan kekebalan tubuh  terhadap penyakit. Patofisiologi penyakit hepatitis. Patofisiologis hepatitis. Tentang penyakit hepatitis. Gambar orang sakit hepatitis. Mekanisme penyakit hepatitis. Peran imunisasi dalam menghasilkan kekebalan tubuh. Pengertian penyakit hepatitis. Mekanisme hepatitis. Etiologi hepatitis a. Hepatitis. Penyakit hepatitis a. Contoh pathway sirosis hepatis. Macam macam hepatitis. Tentang penyakit hepatitis a. Gambar hepatitis a. Cara kerja virus hepatitis. Pathway sirosis hepatis. Etiologi hepatitis virus. Patofisiologi hepatitis c. Etiologi penyakit hepatitis. Penyakit imunisasi atau kekebalan. Patofisiologi penyakit hati. Laporan pendahuluan penyakit hepatitis. Mekanisme penyakit hepatitis a. Gambar penderita penyakit hepatitis. Patofisiologi penyakit hepatitis a. Hepatitis patofisiologi. Gambar orang hepatitis. Makalah tentang mekanisme terjadinya penyakit hepatitis. Patofisiologi hepatitis terbaru. Macam macam penyakit menular beserta gambarnya di suatu daerah. Gambar orang terkena penyakit liver. Pembekakan hati. Patofisiologi penyakit hepatitis b.
Gambar orang penderita hepatitis. Seks dengan pengidap hepatitis. Gambar pathway hepatitis c. Pemutih pakaian dapat membunuhvirus hepatitis b. Cara penularan hepatitis. Makalah penyakit hepatitis a. Gambar penyakit liver/ hepatitis a.

         Bagaimana imunisasi menghasilkan kekebalan tubuh. Hepatitis pato fisiologi. Gambar hepatitis. Gambar tangan transfusi darah. Cara membersihkan darah dari narkoba. Makalah hepatitis. Lingkungan yang baik bagi hepatitis. Imunisasi beserta gambar nya. Cara imunisasi menghasilkan kekebalan tubuh. Cara penularan penyakit hepatitis. Patofisiologi hepatitis d. Etiologi hepatitis b. Gambar penyakit kekebalan tubuh. Penderita hepatitis.Laporan pendahuluan hepatitis b. Mekanisme terjadinya penyakit hepatitis. Cara imunisasi dapat menghasilkan kekebalan tubuh. Patofiologi hepatitis. Patofisiologi sirosis hepatis. Gambaran fisiologi penyakit hepatitis b. Penyebab penyakit hepatitis. Laporan pendahuluan hepatitis a. Orang penyakit hepatitis. Orang hepatitis. Pathway penyakit liver. Hepatitis b mekanisme. Seks penderita hepatitis. Laporan pendahuluan hepatitis anak. Patofisiologi pembengkakan hati. Patofisilogi hepatitis b. Gambar orang yang kena penyakit liver. Penyakit imunitas hepatitis kronis. Pencegahan penyakit hepatitis. Treatment pada penderita liver sirosis. Kondisi rumah sehat untuk penderita hepatitis. Tentan penyakit hepatitis. Patofisiology hepatitis. Video penyakit liver. Patofisiologi penyakit hepatitis c. Hepatitis penyakit. Pengertian penyakit hepatitis f. Gambar mekanisme penyakit hepatitis. Untuk hepatitis. Video penyakit hepatitis. Hepatitis b di kendari. Laporan pendahuluan hepatitis. Hepatitis imunisasi. Gambar orang terkena hepatitis. Pembengkakan hati obat. Cara membunuh virus hepatitis a. Laporan pendahuluan hepatitis pada anak kesehatan.

Jumat, 06 Juli 2012

Antibodi Antikardiolipin (ACA)

Antibodi antikardiolipin adalah protein yang ditemukan dalam tubuh yang bekerja melawan kardiolipin. Kardiolipin dan fosfolipid terkait lainnya adalah molekul lipid yang biasanya ditemukan di membran sel dan platelet serta memiliki peranan penting dalam pengaturan pembekuan darah. Ketika antibodi dihasilkan melawan kardiolipin, mereka akan meningkatkan risiko pembentukan bekuan darah yang tidak semestinya (trombosis) pada arteri dan vena.

Antibodi antikardiolipin termasuk kelompok antibodi antifosfolipid (APA) bersama dengan anticoagulan lupus (LA). LA menyebabkan pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT). Manifestasi klinik yang terkait dengan dengan masing-masing antibodi tampak serupa, yaitu trombosis. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa trombosis vena mungkin terkait dengan LA, dan trombosis arteri lebih lebih mungkin terkait dengan titer antibodi ACA yang tinggi. Antibodi antifosfolipid merupakan kelainan didapat; mungkin terjadi dalam kaitan dengan gangguan autoimun sistemik atau dengan sendirinya. Pasien tetap berisiko untuk trombosis selama masih ada autoantibodi tersebut.


Masalah Klinis

Peningkatan kadar antibodi antikardiolipin dijumpai pada sindrom antifosfolipid (trombosis arteri dan vena yang berulang, keguguran berulang), penyakit autoimun (SLE, HIV/AIDS), persalinan prematur, pre-eklampsia, retardasi pertumbuhan intrauterin, trombositopenia, malignansi (leukemia, gangguan limfoproliferatif dan plasmasitik, tumor padat), infeksi (bakteri, virus, protozoa), peristiwa neurologis termasuk serangan iskemik transient dan stroke, penyakit hati, dan penyakit dermatologik (reticularis livedo, acrocyanosis, pioderma, nekrosis kulit luas). Pengaruh obat : Klorpromazin, prokainamid, kuinidin, penisilin, berbagai antibiotik, fenitoin.


Prosedur

Antibodi antikardiolipin terdiri dari tiga macam, yaitu IgM, IgG, dan IgA. Pengujian antibodi IgM dan IgG antikardiolipin sering diminta untuk membantu menentukan penyebab trombosis, keguguran berulang, atau trombositopenia. Mungkin juga diminta bersama dengan pengujian antikoagulan lupus (LA) untuk membantu menyelidiki penyebab APTT memanjang, terutama jika temuan klinis menunjukkan bahwa pasien memiliki SLE atau gangguan autoimun yang lain. Jika hasil tes utama normal tetapi masih ada kecurigaan klinis, maka pengujian antikardiolipin antibodi IgA dapat dilakukan.

Jika satu atau lebih jenis antibodi antikardiolipin terdeteksi, maka pengujian yang sama biasanya diulang setidaknya setalah 6 minggu untuk membantu menentukan apakah kehadiran mereka adalah terus-menerus atau sementara. Jika tes negatif, mungkin bisa diuji ulang di kemudian hari karena antibodi ini dapat berkembang setiap saat.

Pengujian antibodi antikardiolipin dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Pengujian dengan menggunakan analyzer otomatis memiliki ketelitian yang lebih baik.

Spesimen yang digunakan adalah serum yang diperoleh dengan cara mengumpulkan darah vena dalam tabung bertutup merah lalu memusingkan dengan sebuah centrifuger supaya serum terpisah dari sel-sel darah. Hindari tindakan yang menyebabkan hemolisis pada sampel. Tidak ada persiapan khusus atau pembatasan asupan makanan-minuman pada pasien sebelum sampling.


Nilai Rujukan
Hasil Normal (IgG dan IgM) : negatif (di bawah 20 Units)
Hasil Abnormal : equivocal (20-60 Units), positif (kadar di atas 60 Units)
Nilai rujukan dapat berbeda untuk tiap laboratorium, tergantung metode, alat atau reagen yang digunakan.


Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium
Hemolisis pada sampel darah dapat menyebabkan hasil pengujian yang keliru.

Anti HBs


Anti HBs merupakan antibodi spesifik untuk HBsAg, muncul di darah 1 sampai 4 bulan setelah terinfeksi virus hepatitis B. Anti HBs diinterpretasikan sebagai kekebalan atau dalam masa penyembuhan penyakit hepatitis B. Antibodi ini memberikan perlindungan terhadap penyakit hepatitis B.

Tes anti-Hbs positif juga dapat berarti seseorang pernah mendapat vaksin hepatitis B atau immunoglobulin. Hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang mendapat kekebalan dari ibunya. Anti-Hbs posistif pada individu yang tidak pernah mendapat imunisasi hepatatitis B menunjukkan bahwa individu tersebut pernah terinfeksi virus hepatitis B.

Dulu, diperkirakan HBsAg dan anti HBs tidak mungkin dijumpai bersama-sama, namun ternyata sepertiga carrier HBsAg juga memiliki anti-HBs. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi simultan dengan sub-tipe yang berbeda.


PROSEDUR

Metode

Anti-HBs dapat dideteksi dalam darah dengan beberapa tehnik imunoassay, diantaranya seperti enzyme immunoassay atau enzyme linked fluorescent assay (ELFA). Pada tehnik ELFA, anti-HBs dideteksi berdasarkan intensitas fluoresensi dari sampel setelah penambahan substrat yang mengandung zat fluorescen.

Spesimen

Untuk mendeteksi anti-HBs dapat digunakan serum atau plasma heparin. Sebanyak 3-5 ml darah vena diambil dan dikumpulkan dalam tabung tutup merah atau tutup kuning dengan gel separator, atau tabung tutup hijau (lithium heparin). Sampel darah dipusingkan, lalu serum atau plasmanya dipisahkan untuk diperiksa laboratorium.

Setelah dipisahkan dari bekuan, sampel serum atau plasma dapat disimpan pada suhu 2-8'C dan dapat bertahan selama 5 hari. Jika disimpan pada suhu -25 ±6'C tahan selama 2 bulan.


Nilai Rujukan : -

Masalah Klinis : -

Faktor yang dapat memepengaruhi hasil laboratorium :
• Sampel hemolisis, lipemia, dan hiperbilirubinemia.