Keputusan untuk
melakukan transfusi darah diserahkan ke masing-masing individu, dengan
tetap mengutamakan kepentingan pasien bukan dokter.
Darah merupakan komponen penting dalam tubuh. Melalui darah,
oksigen akan terangkut ke seluruh organ tubuh, terutama organ vital
agar fungsinya dapat terus berjalan. Maka dari itu, tidak berlebihan
apabila prosedur transfusi darah merupakan suatu tindakan yang dapat
dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang (life
saving).
Berbagai usaha transfusi darah terus
dikembangkan sejak ratusan tahun silam. Transfusi darah pertama kali
dilakukan pada tahun 1665 oleh Richard Lower. Namun saat itu, transfusi
darah dilakukan dari anjing ke anjing. Dua tahun kemudian (1667),
barulah transfusi darah ke manusia dilakukan untuk pertama kalinya.
Adalah Jean Denis, dokter Raja Perancis Louis XIV, yang melakukan
transfusi darah domba ke seorang anak remaja yang sedang sakit
demam.

Transfusi darah tidak lepas dari
berbagai risiko atau efek samping yang ditimbulkannya seperti tertular
infeksi dan reaksi alergi. Untuk meminimalkan risiko tersebut pada
resipien maka panduan mengenai transfusi darah perioperatif terus
disusun dan diperbaharui agar pelaksanaannya sesuai dengan indikasi,
mengoptimalkan clinical outcome, dan menghindari under atau
over-transfusion.
Pembahasan transfusi darah pada
tulisan ini lebih ditekankan pada kasus perioperatif yaitu pasien yang
direncanakan menjalani pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Yang
tergolong di dalamnya adalah pasien yang hendak menjalani operasi
bedah, pasien dengan kelainan darah atau mengalami perdarahan masif,
dan pasien sakit kritis.
Transpor
Oksigen
Hemoglobin (Hb) adalah kompleks molekul
terdiri dari 4 rantai globin. Masing-masing rantai globin mempunyai
cincin heme yang mampu mengikat oksigen. Afinitas Hb terhadap O2
tergambar melalui hubungan sinusoidal antara saturasi Hb dengan tekanan
parsial O2 (pO2). Hubungan ini dikenal dengan kurva dissosiasi oksi-Hb.
Jumlah O2 yang dikirim ke seluruh organ tubuh (delivery oxygen/DO2)
merupakan hasil perkalian dari cardiac output (CO) dengan kandungan O2
dalam arteri (arterial O2 content/CaO2).

Hipoksia jaringan (dan anoksia)
akan terjadi apabila jumlah oksigen yang dikirim berkurang. Akibatnya,
sel-sel organ tubuh tidak dapat melakukan metabolisme aerob. Dari
persamaan 1, dapat dilihat bahwa DO2 berkurang akan terjadi bila ada
penurunan Hb (anemia hipoksia) CO (stagnan hipoksia), atau saturasi O2
(hipoksik hipoksia).
Pada seseorang yang sehat,
jumlah oksigen yang dikirim ke seluruh tubuh melebihi jumlah kebutuhan
oksigen yang diperlukan sekitar 2-4x. Sebagai contoh, jika kita
asumsikan Hb normal 15 g/dl, saturasi O2 99%, dan CO 5 l/menit, maka
DO2 adalah 1032 ml/menit. Dalam keadaan istirahat, jumlah O2 yang
dibutuhkan hanya 200-300 ml/menit. Pada seseorang yang anemia pun,
misal Hb 10 g/dl, jumlah DO2 masih di atas kebutuhan tubuh (688
ml/menit). Begitu juga bila Hb 5 g/dl dan parameter lain stabil, jumlah
DO2 masih 342 ml/menit. Dengan demikian, dalam keadaan stabil, jumlah
kebutuhan oksigen dalam tubuh (VO2) tidak dipengaruhi oleh
DO2.

Namun, ada satu nilai ambang
kritis yang disebut critical DO2 (DO2-crit). Beberapa studi menunjukkan
nilai DO2-crit 4-8 ml/menit/kg. Nilai dibawah DO2-crit menandakan
terjadinya penurunan DO2 yang diikuti juga dengan penurunan VO2. Dengan
kata lain, pada fase tersebut mulai terjadi hipoksia jaringan. Disini,
nilai VO2 berhubungan linier dengan DO2.
Dari
penjelasan di atas, maka diketahui bahwa terdapat hubungan bifasik
antara DO2 dengan VO2. Hubungan bifasik itu dibagi menjadi 2 fase. Fase
pertama adalah fase dimana DO2 diatas nilai DO2-crit. Pada fase
pertama, jumlah DO2 tidak mempengaruhi jumlah VO2. Berapa pun banyaknya
DO2, jumlah VO2 tetap sama (plateu).
Fase kedua
adalah fase dimana DO2 dibawah nilai DO2-crit. Penurunan jumlah DO2
seiring dengan penurunan VO2 (linier). Itu berarti jumlah kebutuhan
oksigen jaringan menurun dan terjadi hipoksia jaringan.
Adaptasi Anemia
Pada anemia normovolemia,
kapasitas pengangkutan O2 berkurang namun oksigenasi jaringan tetap
[sesuai penjelasan di atas]. Hal itu dikarenakan kurva disosiasi
oksi-Hb mengarah ke kanan (shift to the right). Pada keadaan tersebut,
terjadi peningkatan sintesis 2,3 difosfogliserat (2,3-DPC) dalam sel
darah merah sehingga lebih memudahkan pelepasan O2 ke jaringan tubuh.
Faktor lain yang turut mempengaruhi kestabilan
oksigenasi jaringan pada anemia adalah cardiac output. Terangsangnya
saraf simpatis sebagai respon dari anemia mengakibatkan tonus pembuluh
darah arteri dan vena meningkat, diikuti pula dengan peningkatan
cardiac output. Sistem renin-angiotensin-aldosteron juga terstimulasi
untuk meretensi air dan natrium.
Pada kasus
perdarahan dimana terjadi hipovolemia dan anemia akut, hukum
'homeostasis' tersebut tidak berlaku sebab baik Hb maupun cardiac
output berkurang.
Komponen Darah
Transfusi
Packed Red Blood Cell
(PRBC)
PRBC mengandung Hb yang sama dengan whole
blood. Perbedaan keduanya terletak pada jumlah plasma, yang lebih
sedikit pada PRBC. Akibatnya, kadar Ht PRBC lebih tinggi daripada whole
blood yaitu 70% berbanding 40%. Indikasi whole blood adalah pasien yang
mengalami perdarahan aktif dan kehilangan darah >25% daripada
darah total. Whole blood juga meningkatkan kapasitas pengangkutan
oksigen (oxygen-carrying capacity) dan ekspansi volume darah
intravaskular. Transfusi satu unit whole blood atau PRBC pada pasien
dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat
meningkatkan Ht 3% atau Hb 1 g/dl.
Pemberian PRBC
perlu diikuti dengan kristaloid atau koloid. Tidak semua kristaloid
dapat digunakan. Ringer laktat, misalnya, mengandung kalsium sehingga
dapat mengakibatkan pembekuan darah (clotting). Cairan kristaloid
dengan osmolaritas rendah juga tidak dihindari karena sel darah merah
akan membengkak lalu mengalami lisis. Cairan yang direkomendasikan
adalah dekstrosa 5% dalam salin 0,4%, dekstrosa 5% dalam salin 0,9%,
salin 0,9%, dan Normosol-R dengan pH 7,4.
Saat
hendak digunakan, PRBC perlu dihangatkan terlebih dahulu hingga sama
dengan suhu tubuh (37oC). Bila tidak dihangatkan, efek hipotermia
disertai dengan rendahnya kadar 2,3-DPG akan mengakibatkan kurva
disosiasi Hb-oksigen mengarah ke kiri. Keadaan itu menandakan bahwa
tekanan parsial oksigen (PO2) dalam darah rendah meskipun saturasi
oksigen tinggi. PO2 yang rendah akan menyulitkan difusi oksigen dari
darah ke jaringan sehingga terjadi hipoksia jaringan.
Trombosit Penyimpanan trombosit
dilakukan dalam suhu kamar dan dapat bertahan selama 5 hari.
Sebaliknya, bila disimpan dalam suhu 4oC, trombosit tidak dapat
bertahan lama dan harus segera digunakan dalam 24-48 jam. Disinilah
permasalahan muncul. Penyimpanan trombosit dalam suhu kamar (20o-24oC)
memicu pertumbuhan bakteri sehingga dapat mengakibatkan sepsis pada
pasien yang ditransfusi. Oleh karena tidak ada pemeriksaan spesifik
terhadap ada tidaknya bakteri dalam komponen darah, maka setiap pasien
yang mengalami demam dalam 6 jam paska transfusi trombosit harus
dicurigai terjadinya sepsis.
Pasien dengan
trombositopenia berat (<20.000 sel/mm3) disertai gejala klinis
perdarahan memerlukan transfusi trombosit. Akan tetapi, bila tidak
dijumpai gejala klinis perdarahan, transfusi trombosit tidak
diperlukan.
Satu unit trombosit dapat meningkatkan
7000-10.000 trombosit/mm3 setelah 1 jam transfusi pada pasien dengan
berat badan 70 kg. Untuk meningkatkan 100.000 trombosit/mm3, butuh 10
unit. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan transfusi trombosit
diantaranya splenomegali, sensitisasi sebelumnya, demam, sepsis, dan
perdarahan aktif.
Plasma Beku Segar (Fresh
Frozen Plasma)
FFP mengandung semua protein plasma
(faktor pembekuan), terutama faktor V dan VII, yang akan menurun
jumlahnya seiring dengan lamanya penyimpanan.
Setiap
unit FFP biasanya dapat menaikkan masing-masing kadar faktor pembekuan
sebesar 2-3% pada orang dewasa. Dosis inisial adalah 10-15 ml/kg. Sama
dengan PRBC, saat hendak diberikan pada pasien, perlu dihangatkan
hingga sama dengan suhu tubuh.
KriopresipitatKriopresipitat
mengandung faktor VIII dan fibrinogen dalam jumlah banyak. Selain itu,
juga terdapat faktor von Willebrand, faktor XIII dan fibronektin.
Fibronektin adalah glikoprotein yang berperan sebagai sel
retikuloendotelial clearance terhadap bakteri atau benda asing dalam
darah. Indikasi kriopresipitat adalah pada penyakit hemofilia
(defisiensi faktor VIII), juga dapat digunakan dalam pengobatan
defisiensi fibrinogen.
Kompleks
ProtrombinKomponen darah yang dikandungnya adalah
faktor II, VII, IX, dan X. Indikasi utama adalah pengobatan hemofilia B
(defisiensi faktor IX). Selain itu juga diberikan pada perdarahan
akibat hipoprotrombinemik didapat (acquired hypoprothrombinemic),
seperti pada pasien overdosis warfarin.
Transfusi
Darah
Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah
oksigenasi jairngan tubuh. Dengan meningkatkan nilai Hb maka kapasitas
pengangkutan oksigen ikut meningkat. Keadaan itu menjamin suplai
oksigen ke jaringan yang mengalami hipoksia (oxygen delivery-dependent
tissue).
Akan tetapi, darah transfusi – yang melalui
proses penyimpanan – mempunyai tingkat P50 yang rendah dan kadar
2,3-DPG yang berkurang. Akibatnya, daya afinitas Hb terhadap oksigen
meningkat namun pelepasan oksigen ke jaringan sulit (kurva disosiasi
oksigen mengarah ke kiri). P50 adalah tekanan parsial oksigen dimana
50% Hb tersaturasi dengan oksigen pada suhu 37oC dan pH 7,4.
Rekomendasi Transfusi Berdasarkan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
1. Sel darah Merah
- Transfusi sel darah merah hampir
selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl, terutama pada anemia
akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima. (Rekomendasi A)
- Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10
g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara
klinis dan laboratorium. (Rekomendasi C)
- Transfusi
tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen
lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan
penyakit jantung iskemik berat). (Rekomendasi A)
- Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada
kadar Hb ≤11 g/dl; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan
hingga 7 g/dl (seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat
penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi
oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb ≤13 g/dl. (Rekomendasi
C)
2. Trombosit
- Mengatasi perdarahan pada pasien dengan
trombositopenia bila hitung trombosit <50.000/µl, bila terdapat
perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/µl.
Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan
masing-masing. (Rekomendasi C)
- Profilaksis
dilakukan bila hitung trombosit <50.000/µlpada pasien yang akan
menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi
masif. (Rekomendasi C)
- Pasien dengan kelainan
fungsi trombosit yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi C)
3. Plasma beku segar (fresh frozen
plasma)
- Mengganti defisiensi
faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibisi koagulasi baik yang didapat
atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau
kombinasi. (Rekomendasi C)
- Netralisasi hemostasis
setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam nyawa.
(Rekomendasi C)
- Adanya perdarahan dengan parameter
koagulasi yang abnormal setelah transfuse masif atau operasi pintasan
jantung atau pada pasien dengan penyakit hati. (Rekomendasi
C)
4. Kriopresipitat
- Profilaksis pada pasien dengan defisiensi
fibrinogen yang akan menjalani prosedur invasif dan terapi pada pasien
yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi C)
- Pasien
dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami
perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin
asetat atau akan menjalani operasi. (Rekomendasi C)
Algoritma Transfusi Darah Perioperatif
1. Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif menilai riwayat kesehatan/penyakit
sebelumnya, melakukan pemeriksaan fisik dan menanyakan faktor risiko
pasien, misalnya penyakit kardiorespirasi atau koagulopati. Pada
koagulopati, pemakaian warfarin, clopidogrel, dan aspirin dapat
mempengaruhi komponen darah transfusi. Selain itu, evalusai preoperatif
juga perlu menilai adanya penyakit darah kongenital atau didapat,
penggunaan vitamin atau suplemen herbal yang dapat mengganggu
koagulasi, serta pemakaian obat seperti aprotinin yang dapat
menimbulkan reaksi alergi. Pasien perlu diberi tahu (informed consent)
terhadap segala risiko atau komplikasi yang timbul akibat reaksi
transfusi.
- Anamnesis
- Mengkaji riwayat kesehatan/penyakit
pasien
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik
- Kondisi pasien
- Tes laboratorium
- Hb atau
Ht
- Profil koagulasi
2. Persiapan preoperatif
- Langkah-langkah untuk mencegah
perdarahan
- Menghentikan antikoagulasi
- Menunda operasi sampai efek obat yang sebelumnya diminum
(warfarin, clopidrogel, aspirin) menurun
- Mencegah/mengurangi jumlah darah transfusi
allogenik
- Obat untuk mencegah anemia perioperatif
(eritropoietin dan vitamin K)
- Mempersiapkan darah
autolog
- Obat untuk merangsang koagulasi dan
meminimalkan perdarahan (aprotinin, Є-asam aminokaproat, asam
traneksamat)
3. Intervensi intraoperatif dan
postoperatif
a. Transfusi sel darah
merah
-
Memantau perfusi dan oksigenasi
(tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dan saturasi oksigen).
Echokardiografi bila memungkinkan.
-
Memantau indikasi transfusi
(apakah ada iskemia jantung, Hb, Ht, profil koagulasi)
-
Transfusi dilakukan bila Hb <6 g/dl. Tidak diberikan bila Hb
masih >10 g/dl. Bila Hb antara 6-10 g/dl, menentukan perlu
tidaknya transfusi adalah dengan melihat apakah ada organ iskemia,
potensi perdarahan berlanjut, status volume intravaskular pasien, dan
faktor risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat.
-
Transfusi eritrosit allogenik
-
Transfusi darah
autolog
b. Tatalaksana koagulopati
Menilai lapangan pembedahan dan monitoring laboratorium
terhadap tanda koagulopati. Lapangan pembedahan perlu dinilai bersamaan
antara dokter bedah dan anestesiologis, apakah terjadi perdarahan
mikrovaskular yang masif. Penilaian perdarahan masif perlu juga dinilai
dari darah suction, spons, dan drainase. Laboratorium: trombosit, PT
dan APTT. Tes lain adalah kadar fibrinogen, fungsi trombosit,
tromboelastogram, D-dimer, dan thrombin time.
-
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit jarang diindikasikan
bila trombosit >100 x 109/l dan baru diberikan bila <50 x
109/l. Indikasi lain adalah bila didapatkan disfungsi trombosit. Pada
kasus trombositopenia yang terjadi karena dekstruksi trombosit seperti
heparin-induced thrombocytopenia, idiopathic thrombocytopenic purpura,
thrombotic thrombocytopenic purpura, transfusi trombosit profilaksis
tidak efektif.
-
Transfusi FFP
Bila mungkin,
uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan sebelum memberikan FFP. Transfusi
FFP tidak diberikan bila PT dan APTT normal serta tidak diindikasikan
untuk meningkatkan volume plasma. Indikasi FFP adalah (1) perdarahan
mikrovaskular masif (koagulopati) dengan PT >1,5 kali, INR
>2 kali, atau APTT >2 kali dari normal; (2) perdarahan
mikrovaskular masif akibat sekunder dari defisiensi faktor koagulasi
atau ketika PT/APTT tidak dapat diperiksa pada saat itu; (3)
penghentian tiba-tiba terapi warfarin; (4) diketahuinya faktor
koagulasi yang mengalami defisiensi tetapi komponen transfusi tersebut
tidak tersedia; (5) resistensi heparin (defisiensi antitrombin III)
pada pasien yang memerlukan heparin.
-
Transfusi
kriopresipitat
Sebelum memberikan kriopresipitat, kadar
fibrinogen perlu diperiksa. Transfusi kriopresipitat jarang
diindikasikan bila kadar fibrinogen >150 mg/dl. Indikasi (1)
kadar fibrinogen <80-100 mg/dl dengan perdarahan mikrovaskular
masif, (2) defisiensi fibrinogen kongenital. Satu unit kriopresipitat
mengandung 150-250 mg fibrinogen. Satu unit FFP mengandung 2-4 mg
fibrinogen/ml. Oleh karena itu, satu unit FFP memberikan jumlah
fibrinogen yang sama dengan 2 unit kriopresipitat.
c. Memantau reaksi transfusi
-
jumlah dan warna
urin
-
peak airway pressure
Komplikasi Transfusi
Darah
Komplikasi imun
1. Reaksi
hemolitik
Umumnya yang terjadi adalah penghancuran
sel darah merah donor oleh antibodi resipien. Atau, pada beberapa
kasus, sel darah merah resipien mengalami hemolisis. Reaksi hemolitik
dapat dibedakan menjadi dua yaitu akut (intravaskular) dan terlambat
(ekstravaskular).
1.1 Reaksi hemolitik
akut
Biasanya terjadi karena
inkompatibilitas ABO. Jumlah kasus yang dilaporkan adalah 1:38.000
transfusi. Penyebabnya adalah kesalahan mengidentifikasi pasien, jenis
darah atau unit transfusi.
Pada orang sadar, gejala
yang dialami berupa menggigil, demam, mual, serta nyeri dada dan
panggul. Pada orang dalam keadaan terbius, gejala berupa peningkatan
suhu tubuh, takikardia yang tidak diketahui penyebabnya, hipotensi,
hemoglobinuria, dan perdarahan difus pada daerah lapangan operasi.
Koagulasi intravaskular disseminata, syok, dan gagal ginjal terjadi
dengan cepat. Berat ringannya gejala tersebut tergantung dari seberapa
banyak darah inkompatibilitas ABO yang ditransfusikan.
Penatalaksanaan reaksi hemolitik sebagai berikut:
- Segera hentikan transfusi.
- Komponen darah yang diberikan diperiksa apakah sesuai dengan
identitas pasien dan yang diminta.
- Ambil darah
pasien untuk diperiksa kadar Hb, trombosit, uji kompatibilitas, dan tes
koagulasi.
- Pasang kateter urin, lalu periksa
adanya hemoglobinuria.
- Berikan manitol dan cairan
intravena agar terjadi diuresis osmotik.
- Apabila
terjadi kehilangan darah yang banyak, lakukan transfusi trombosit dan
FFP.
1.2. Reaksi hemolitik
terlambat
Juga disebut sebagai hemolisis
ekstravaskular. Reaksi hemolitik yang terjadi pada tipe ini umumnya
ringan. Penyebabnya adalah antibodi terhadap antigen non-D dari sistem
RH atau terhadap alel asing dari sistem lain seperti Kell, Duffy, atau
antigen Kidd.
Diagnosis reaksi hemolitik terlambat
adalah dengan melakukan tes antiglobulin (Coomb). Penatalaksanaannya
adalah suportif primer.
2. Reaksi Imun
Nonhemolitik
Reaksi ini terjadi karena
sensitisasi resipien terhadap sel darah putih, trombosit, atau protein
plasma dari donor.
2.1.
Demam
Sensitisasi terhadap sel darah putih
atau trombosit umumnya bermanifestasi sebagai demam. Insiden terjadi
1-3% dari episode transfusi. Ciri-ciri adalah peningkatan suhu tubuh
tanpa disertai bukti adanya hemolisis. Pasien dengan riwayat demam
berulang paska transfusi perlu mendapat transfusi sel darah merah murni
(tanpa ada sel darah putih). Komponen darah tersebut bisa didapat
dengan cara melakukan sentrifugasi, filtrasi, atau teknik
freeze-thaw.
2.2.
Urtikaria
Ditandai dengan eritema, bintik
merah, dan gatal tanpa demam. Diduga terjadi karena sensitisasi
terhadap protein plasma. Reaksi urtikaria dapat ditangani dengan
antihistamin dan steroid.
2.3. Reaksi
Anafilaktik
Anafilaktik berat dapat
terjadi pada pasien defisiensi IgA yang memiliki antibodi anti-IgA dan
menerima transfusi darah yang mengandung IgA. Penanganan dini adalah
epinefrin, cairan, kortikosteroid, dan antihistamin. Pasien defisiensi
IgA sebaiknya mendapat transfusi washed packed red cell, sel darah
merah beku deglycerolized, atau darah tanpa IgA.
Komplikasi Infeksi
Risiko penularan
penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada berbagai hal,
antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining
yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah.
Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko transfusi
darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B
dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV). Model ini berdasarkan fakta
bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat window period
(periode segera setelah infeksi dimana darah donor sudah infeksius
tetapi hasil skrining masih negatif).
Perhitungan
Jumlah Darah yang Hilang
Perkiraan volume total
darah (estimated blood volume/EBV) pada pria dewasa adalah 75ml/kg dan
wanita dewasa 65 ml/kg. Pada pria dengan berat 70 kg, diperkirakan
jumlah darahnya sebanyak 5 liter, terdiri dari 3 liter plasma dan 2
liter sel darah merah.
Prognosis
Masih banyak kontroversi mengenai prognosis pasien yang
menjalani transfusi darah perioperatif. Berbagai studi telah dilakukan
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, hasilnya berbeda-beda
tergantung dari metodologi penelitiannya. Beberapa studi tersebut
antara lain seperti dijabarkan di bawah ini. Sebanyak 281 pasien kanker paru stadium I yang akan menjalani
operasis lobektomi diikutsertakan dalam penelitian oleh Nosotti M dkk,
seperti dikutip dari Chest 2003. Dari total subjek tersebut, hanya
24,6% yang menjalani transfusi darah. Perbedaan Hb preoperatif kelompok
transfusi dengan non-transfusi adalah 12,5 ± 1,2 g/dl vs 13,3 ± 1,22
g/dl. Hasilnya, Nosotti M dkk menemukan bahwa kejadian disease-free
interval selama pemantauan 73 bulan pada kelompok transfusi lebih
rendah secara signifikan daripada non-transfusi (53% vs 78%;
p<0,005). Uji statistik juga menunjukkan transfusi darah
berperan menjadi faktor prediktif terhadap terjadinya relaps tumor
(hazard ratio 2,3; p=0,017).
Studi lain oleh Rao SV
dkk, seperti dikutip dari JAMA 2004, menyimpulkan bahwa transfusi darah
pada pasien sindrom koroner akut dengan manifestasi perdarahan
berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi. Dari 24.112
subjek penelitian, sebanyak 10% diantaranya (2401 subjek) pernah
mendapat minimal satu kali transfusi darah selama masa perawatan di
rumah sakit. Selama observasi 30 hari, outcome kelompok transfusi lebih
buruk daripada non-transfusi, yaitu tingkat kematian (8% vs 3,08%;
p<0,001), dan infark miokard (25,16% vs 8,16%;
p<0,001).
Transfusi perioperatif pada pasien
patah tulang panggul dengan Hb ≥8 g/dl tidak memberikan survival yang
lebih baik. Transfusi darah perioperatif juga tidak berhubungan dengan
risiko mortalitas pada hari ke-30 dan 90 paska operasi. Hasil itu
dilaporkan dalam JAMA 1998 oleh Carson JL dkk.
Pada
akhirnya, kita masih belum mengetahui secara tepat berapa nilai Hb/Ht
yang menjadi patokan dimulainya transfusi darah. Oleh karena itu,
keputusan untuk melakukan transfusi darah diserahkan ke masing-masing
individu, dengan tetap mengutamakan kepentingan pasien bukan
dokter.